Total Tayangan Halaman

Selasa, 30 November 2010

Langgar Keputusan Adat, Sanksi Berat Hukumannya

Bupati Buton, Ir. H. LM. Sjafei Kahar,
ketika dikukuhkan sebagai Kaolu Rumpun Katukobari
Masyarakat Rumpun Katukobari wajib mematuhi semua peraturan yang dikeluarkan perangkat adat. Bagi siapa yang melanggar akan dikenakan sanksi berupa sanksi moral hingga sanksi sosial
Bagi warga rumpun  Katukobari, melanggar kesepakatan yang telah ditetapkan berdasarkan keputusan yang dikaluarkan Kaolu berarti sebuah malapetaka. Sebab hal itu merupakan keputusan adat yang telah disepakati kuam saha.
“Dalam keputusan politik ataupun kebijakan lain, semua rumpun Katukobari wajib mematuhi dan melaksanakan semua keputusan Kaolu. Jika terbukti melanggar mereka akan dikenakan sanksi adat dan warga percaya mereka akan terkena azab atau bala,” demikain dikatakan salah seorang Tokoh Kerukunan Keluarga Katukobari, yang juga anggota DPRD Kabupaten Buton, Kadir Teme yang diiyakan Ketua Kerukunan Keluarga Katukobari, Lukman, S.Pd, M.Pd di sela-sela perayaan HUT Kerukunan Keluarga Katukobari (K30 di Lantongau, Mawasangka Tengah.
Menurut Kadir Teme, bagi akar rumpun yang melanggar keputusan Kaolu, akan diberikan sanksi adat berupa mereka tidak lagi dianggap sebagai warga rumpun Katukobari atau dikucilkan dari pergaulan umum. Jika ada anggota keluarganya mengadakan hajatan hidup atau urusan kematian tidak akan lagi diurus oleh rumpun tapi tinggal mengurusnya sendiri. Kuam Saha tidak akan lagi bertanggung jawab atau mengurusi masalah keularga itu.
Tamu yang menghadiri prosesi Adat Rumpun
Katukobari selalu disambut dengan tari
“Selain itu, menurut kepercayaan rumpun Katukobari oknum tersebut akan tertimpa musibah atau bala. Jadi, bagi kami warga Katukobari Keputusan Kaolu, merupakan sesuatu yang harus dipegang dan dijalankann,” kata Kadir Teme.

Menurut Kadir Teme,  pembentukan K3 diilhami oleh konflik-konflik yang terjadi dalam rumpun Katukobari sendiri. Konflik tersebut memuncak seiring berkembangnya demokrasi di daerah ini. “Ketika Pilkada Buton tahun 2006, warga terpecah, termasuk para perangkat adat dalam menentukan pilihan. Perbedaan pilihan itu, merembet pada perangkat Saha. Sehingga tidak ada lagi yang saling mengingatkan dalam warga rumpun tersebut.
Untuk itulah beberapa tokoh muda dan tokoh tua yang peduli dengan keutuhan Keluarga Besar rumpun Katukobari membentuk sebuah wadah yang kemudian disepakati untuk dinamakan Kerukunan Keluarga Katukobari. Tujuannya untuk menjalin hubungan komunikasi yang harmonis antara sesame warga Katukobari, baik dengan pemerintah maupun dengan rumpun lain.
Katukobari juga memiliki Gua alam yang memiliki
panorama yang begitu menakjubkan
“Rumpun Katukobari meliputi hampir seluruh Mawasangka Tengah sekarang, minus Gundu-gundu. Katukobari merupakan pusat pemerintahan Desa Lantongau yang meliputi Langkomu, Liana Banggai, Watorumbe, Morikana. Pada perkembangannya, Lantongau terpecah menjadi 2 Desa yakni, Lantongau I yang meliputi Langkomu dan Liana Banggai berkedudukan di Liana Banggai dan Lantogau di Katukobari. Dewasa ini, kawasan itu, telah menjelma menjadi beberapa desa yakni, Lantongau I telah mekar menjadi beberap desa yakni, Lanto, Langkomu dan Lalibo. Sedangkan Lantongau (induk) juga telah menjadi mekar yakni, Morikana, Watorumbe, Watorumbe Bata dan Lakorua. Desa-desa tersebut ditambah dengan Desa Gundu-gundu kini telah menjadi satu wilayah kecamatan tersendiri yakni Kecamatan Mawasangka Tengah,” kata Kadir Teme.
Semuanya, kata Kadir Teme dikembalikan pada aturan-aturan adat yang telah dijalankan oelh para leluhur peninggalan Kesultanan Buton masa lampau yang tetap dipertahankan rumpun Katukobari hingga saat ini. Tidak dapat disangkal meski kesultanan Buton telah berubah menjadi daerah otonomk tersednri, namun sejumlah Kadie sebagai peninggalan Kesultanan Buton tetap eksis. Bahkan mereka tetap menjalankan tradisi ala zaman kesultanan.Sementara itu, Camat Mawasangka, LM. Zamrud, S.Sos pada kesempatan itu mengatakan sejumlah perangkat lembaga pemerintahan dalam Kesultanan masa lalu masih bertahan dan menjalankan eksistensi mereka dalam lembaga adat. Bahkan beberapa Kadie yang masih eksis tersebut  para perangkat adat bukan hanya menyelesaikan persoalan adat, namun tidak jarang dimintai pendapatnya dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul membelit masyarakat.
Salah seorang pemuka adat Rumpun katukobari
ketika ritual adat dimulai
“Kegiatan atau pengukuhan adat perlu dilestarikan sebagai wujud kejayaan leluhur masa lampau. Disamping budaya juga merupakan symbol pemersatu antara masyarakat, tokoh masyarakat dan pemerintah. Kegiatan yang merupakan spontanitas masyarakat seperti ini jarang dilakukan. Untuk itu perlu dilestarikan sebab ini merupakan sebuah indicator atau wujud nyata bahwa di Buton pada umumnya dan khususnya di DEsa Katukobari (K3) masa lampau telah memiliki budaya yang tinggi misalnya, sebelum prosesi adat dilkasanakan terlebih dahulu Bupati Buton mengenakan pakaian adat Buton, jubah kebesaran yang selanjutnya pengukuhan di Kaompu/BAruga untuk dianugerahkan kepada Bapak Bupati Buton karena dianggap sebagai generasi Keluarga Katukobari yang merupakan salah satu budaya tertua di BUton dan sebagai generasi pelanjut yang diharapkan dapat menjaga peninggalan budaya hasil leluhur keluarga Katukobari. Budaya ini hamper punah karena kurangnya pengetahuan para generasi muda pada saat ini utamanya, dari kalangan Keluarga Katukobari sendiri.
Camat Juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bupati BUton yang telah bersedia menerima pengukuhan ini dan di dalam amanah ini ada sebuah keyakinan dan harapan dalam bentuk terbaik untuk bisa menjaga negeri ini dan mengembalikannya dalam bentuk yang terbaik kepada masyarakat. Dan hal ini sesuai dengan visi dan misi pembangunan yang dicanangkan oleh Bapak Bupati Buton yaitu menjadikan Buton sebagai kawasan bisnis dan budaya terdepan tentu tujuannya antara lain agar budaya dapat dijadikan sebagai alat perekat persatuan dan kesatuan menuju terbentuknya daerah otnom baru itu, Buteng, Busel dan Buton Raya.
Bupati Buton, Ir. H. LM. Sjafei Kahar sangat menyambut baik terbentuknya Kerukunan Keluarga Katukobari. “Kebersamaan dan kekompakan juga merupakan salah satu warisan budaya Kesultanan Butob masa lampau. Sebab hal itu terkandung dalam Falsafah Buton yakni, Poma-masiaka yang hendaknya terus dipegang teguh dan diamalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika semua itu dapat diamalkan maka Buton akan tetap aman lestari dan jauh darin konflik,” katanya.
Selain itu, musyawarah dan mufakat juga yang sering dilaksanakan oleh perangkat adat untuk menyelesaikan masalah yang diselenggarakan di Baruga atau Kaompu juga merupakan warisan leluhur Kesultanan Buton yang sampai hari ini masih dilakaukan oleh masyarakat Buton di beberapa daerah. Untuk itu, pemerintah Kabupaten Buton tetap mendukung pelestarian budaya seperti ini, seperti dalam misi Kabupaten Buton yakni menjadikan Kabupaten Buton sebagai Kawasan bisnis dan Budaya terdepan.(alma)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar