Total Tayangan Halaman

Senin, 13 Desember 2010

OPTIMISME SUKU BAJO DI KOKOE

Perahu nelayan Suku Bajo. Laut adalah periuk kehidupan
Kokoe dengan segala ekostismenya, yang oleh berbagai etnis yang mendiami kawasan itu terus bergeliat. Suku Bajo yang mayoritas telah berbaur dengan suku-suku lainnya. Laut adalah urat  nadi kehidupan mereka. Dari laut mereka hidup. Dan laut yang penuh misteri bagi suku Bajo laksana periuk kehidupan 
Pasir putihnya yang memanjang ke selatan sepanjang 3 km membentuk tanjung yang indah, berkilau diterpa sinar matahari. Pohon pinus yang mendesir ditiup angin semilir yang mengandung garam. Kokoe, sebuah desa yang kaya akan potensi sumber laut terletak di bagian paling barat Kabupaten Buton. Suku Bajo dan suku-suku lainnya, berkolaborasi dalam satu kebiasaan masyarakat Bajo.
Matahari belum lagi muncul saat di tepi pantai itu sejumlah orang kebanyakan berbusana koko yang dilengkapi dengan kopiah berdiri dengan posisi tangan tertentu. Pandangan mata mereka terarah dengan tajam ke cakrawala, tempat matahari nanti akan muncul. Pantai itu merupakan bagian dari sebuah perkampungan nelayan di Desa Kokoe, Kecamatan Talaga Raya.
         Lantas mataharipun muncul. Sekian pasang mata dari orang-orang yang berpegangan di sisi perahu itu, tak berkedip. Cahaya kuning merambat dan melenting sepanjang permukaan laut dan menyapu wajah mereka. Anjing lewat berjingkat, ketam berlari di atas pasir. Namun kosentrasi mereka sama sekali tidak terganggu hingga tiba saat mereka nyaris bersamaan, merasa semua itu sudah cukup. Maka mereka akhiri sikap tubuh itu dengan satu tarikan napas panjang yang lantas dihembuskan dengan hentakan.
“ Satu, Dua, Tiga, “
Pangkalan pembuatan perahu. Dengan Perahu Ciri Khas,
suku Bajo mengarungi ganasnya lautan merea

Apakah  yang sedang mereka lakukan? Itulah semangat gotong royong dan kebersamaan yang ditunjukan warga Kokoe. Mereka bahu-membahu menurunkan perahu dalam ritual mendorong perahu yang baru saja dibuat menuju laut, tempat berlabuhnya yang abadi.
     Bagi, warga Kokoe yang kebanyakan Suku Bajo, perahu adalah istananya yang ke dua, sebuah barang yang sangat berharga, tempat dan alat untuk mengais rezeki, guna menyambung hidup semua anggota keluarga. Perahu adalah sebuah simbol, kemapanan. Tentu saja selain istana yang pertama, rumah, tempat tinggal mereka. Semakin bagus, perahu seseorang, bagi masyarakat Bajo, menunjukan kemapanan dalam mencari dan menaklukan laut. Sebab perahu megah nan elok yang dihiasi dengan cahaya yang sepadan serta mesin penggerak yang berkekuatan penuh menunjukan betapa uletnya seseorang dalam mencari nafkah. Bukan kah perahu nan elok itu di peroleh dengan mengumpulkan uang yang juga diperolehnya dari laut?
     Begitulah. Bagi masyarakat Kokoe, laut merupakan sebuah periuk kehidupan. Gugusan karang yang luas sepanjang garis pantai, deburan ombak yang memecah, teluk-teluk dalam yang tenang mengalirkan makanan yang bergizi, daratan pasir, mangrove, padang rumput laut, semua dalam satu areal untuk menutupi dan menghidupi masyarakat Bajo di Kokoe.
     Perlahan matahari naik sepenggalah. Sinarnya langsung menyengat. Ombak kecil berdebur perlahan memecah dibibir pantai. Pasir putih memebentang nan indah berkilau tertimpah sinar matahari pagi itu. Nun jauh ditengah laut, burung camar terbang menukik, memangsa seekor ikan terbang, lalu terbang lagi. Sejumlah nelayan rumput laut tampak sibuk, tak terusik dengan gerak alam yang ada
Perahu Suku Bajo ketika hendak melaut
disekelilingnya.  Perlahan tapi pasti, Nunsi (68), merapatkan perahunya yang sarat dengan rumput laut. Mengenakan topi yang bertuliskan Billabong yang usang dan sedikit kekuningan, tanpa baju, laki-laki 3 anak itu bergegas merapatkan perahunya, dibibir pantai. Sesaat laki-laki separuh baya itu, menuju darat menyediakan tempat jemuran hasil panen rumput lautnya.
     Nunsi yang setia memelihara rumput laut, hanyalah segelintir, warga Desa Kokoe, Kecamatan Talaga Raya, Kabupaten Buton. Kokoe merupakan Desa pemekaran dari Desa Talaga Besar hampir 90 persen warganya bermata pencaharian sebagai nelayan. Baik sebagai nelayan pancing maupun nelayan agar-agar. Lainnya berprofesi sebagai perantau. Kebanyakan merantau di negeri jiran Malaysia.
Kokoe kebanyakan dihuni masyarakat Suku Bajo. Daerah ini kebanyakan dikelilingi hamparan laut Flores yang kaya akan potensi, dan bagi Nunsi dan warga Kokoe lainnya, laut merupakan karunia Illahi yang tak ternilai harganya. Di laut mereka hidup dan kadang-kadang di laut pula mereka harus bermalam dan tinggal dengan sanak saudara.
     Orang–orang bajo, di Kokoe tidaklah berbeda dengan suku-suku Bajo di daerah lain. Namun Kokoe, dengan segala bentuk denyut kehidupan yang berdetak di daratan itu, merupakan sebuah wilayah yang heterogen dengan berbagai kebiasaan hidup yang bersandar pada laut.
Kokoe dilihat dari laut

Bagi orang-orang Kokoe, laut yang penuh misteri adalah sandaran kehidupan, tempat untuk mencari nafkah, sekaligus kadang tempat untuk ‘pulang’ akibat keganasan ombaknya.
Kokoe sebuah desa, yang terdiri 3 pulau dan sebagian di daratan Kabaena bagian selatan, yakni pulau Kokoe, Popalia dan Batu Mandi. Dari 3 pulau tersebut, 1 yang berpenghuni yaitu pulau Kokoe, itupun pernah mulai ditinggalkan penghuninya menuju daratan. Orang Kokoe sendiri menyebut daratan, tempat hunian mereka itu, Kolowana Bugisi ( Teluk Bugis).
“Air tak ada, dan kadang, angina memporak-porandakan rumah-rumah warga. Lagi pula daratan sudah banyak penghuninya,” kata Kades Kokoe, La Sarumbe.
     Rata-rata arus migrasi warga Kokoe ke daratan itu selalu terjadi pada musim barat, ketika angin bertiup kencang, dan keadaan laut kurang bersahabat. Jadilah perkampungan daratan yang lebih ramai dibandingkan pulau kecil bernama Popalia itu yang merupakan tempat pertama leluhur Suku Bajo Kokoe beranak pinak.
Kokoe, merupakan wilayah Kabupaten Buton paling ujung di sebelah barat. Berbatasan langsung dengan Kecamatan Kabaena Selatan (Bombana) yang beribukota induk Kokoe ini, perjalanan hanya memerlukan waktu 1 jam dengan kendaraan yang sama. Dapatlah dibayangkan betapa pentingnya bagi masyarakat Kokoe, ketika desa ini ‘di lepaskan’ dari induknya. “ Dulu itu, kami harus, menyeberang laut untuk menuju balai desa. Waktu kami tersita,” kata Abdul Rasyid, Kaur Pemerintah Desa Kokoe.
     Di kokoe Darat kini, telah berdiri sebuah bangunan SD, Madrasah Tsanawiah dengan status swasta. Sarana kesehatan seperti puskesmas juga telah ada. Kokoe juga telah memiliki bentangan Pasir putih nan indah terletak sebelah selatan pemukiman penduduk. Pantai Kahona namanya. Panjang pantai ini berkisar 3 km. Pohon pinus, juga tumbuh di sekitarnya. Kebanyakan yang memanfaatkan keindahan pasir ini, adalah warga Talaga atau Talaga Besar. Kedatangan turis local ini juga banyak membawa manfaat. “Mereka membeli hasil tangkapan kami untuk dikonsumsi dengan cara di bakar di pasir itu,” kata Rasyid.
     Kokoe kini dihuni, 220 KK dan 679 jiwa yang tersebar di 3 lingkungan, lingkungan daratan I, Daratan II dan  Kokoe. Kolowonan Bugisi, awalnya dihuni, warga Kokoe, ketika gerombolan DI/TII menyatroni desa itu. Wargapun memilih untuk meninggalkan Kokoe menuju tempat yang paling aman. Setelah merasa aman, sebagian warga yang mengungsi itu tidak lagi, ke Kokoe, tetapi lebih memilih tinggal di Kolowanan Bugisi, hingga sekarang.
     “Masyarakat Kokoe sekarang lebih memilih di daratan ini, ketimbang di Pulau. Selain kenyamanan, semua sarana seperti puskesmas, sekolah dan Balai Desa dan perangkatnya juga ada di daratan. Apalagi sejak Kokoe mekar dari Talaga Besar sejak tahun 2000 lalu, warga Kokoe terus meninggalkan pulau Kokoe menuju daratan,” kata Ketua BPD Kokoe, M. Ardin.
Nelayan Rumput Laut sedang mempersiapkan jemuran rumput laut

Ardin juga mengungkapkan warga Kokoe disamping terdiri suku Bajo, juga ada Suku Buton, Muna, Bugis dan Selayar. Tapi suku-suku itu seakan larut dalam kolaborasi kebiasaan suku Bajo termasuk bahasa dan aksen ala Bajo.
     Meskipun, Kokoe  hanyalah sebuah desa nelayan, namun hasil laut desa ini tidak boleh dipandang sebelah mata. “Setiap bulan, desa ini mampu menghasilkan sekitar 30 ton rumput laut. Belum lagi hasil laut berupa kerang-kerangan, ikan kering, serta ekor hiu yang mahal harganya itu. Mereka menjualnya pada pedagang-pedagang hasil laut yang kadang berlabuh di Kokoe untuk waktu yang lama,” kata La Sarumbe.
Kades yang baru dilantik 25 Januari 2006 itu, juga mengungkapkan,Kokoe juga memiliki pasar tradisional yang dihelat setiap akhir pekan. Pasar Kokoe, terbilang ramai untuk ukuran desa. Kebanyakan para pedagang membawa, hasil bumi yang dibutuhkan warga Kokoe seperti sayur-sayuran, kelapa serta bahan pakaian. Sementara warga Kokoe sendiri menyediakan hasil laut seperti, ikan dan kerang-kerangan.
     Kokoe yang kini berpemerintahan sendiri memiliki pesona pantai dengan segala eksotisme suku Bajo yang ada didalamnya. Bagi mereka laut adalah segalanya. Dan pemerintah Kabupaten Buton terus membangun sarana dan prasarana yang dibutuhkan  warga Kokoe sebagai bentuk kepedulian pemerintah terhadap warganya.(alma)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar